Article

Munir dan Jejak Kelam Perlindungan Pembela HAM

Date : 2020-11-28
Author : Fatia Maulidiyanti
Year : 2020
Category: Politics

Sudah 16 tahun upaya menuntut keadilan atas meninggalnya aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib berjalan. Namun, hingga hari ini, negara masih belum juga memberikan kepastian hukum dan pemenuhan hak korban. Perkara pembunuhan Munir adalah salah satu catatan hitam dalam sejarah perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia pasca-reformasi.

Munir meninggal di atas pesawat Garuda nomor penerbangan GA-974 yang sedang terbang dari Singapura menuju Amsterdam pada 7 Septembe 2004. Hasil otopsi Institut Forensik Belanda (NFI) menemukan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik dengan dosis yang fatal. Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), yang memberikan beberapa temuan penting, termasuk bahwa pembunuhan Munir merupakan pembunuhan terencana yang dilakukan secara terstruktur oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Pengadilan hanya menghukum Pollycarpus, eksekutor langsung, yang saat ini telah bebas dari penjara. Dalang utamanya tidak pernah terungkap. TPF telah melaporkan perkembangan kasus ini ke SBY karena menemukan indikasi kuat bahwa ini adalah kejahatan konspiratif, bukan perorangan, dan di dalamnya terlibat oknum serta pejabat direksi PT Garuda Indonesia, baik secara langsung maupun tidak.

Pembunuhan kilat atau yang biasa disebut sebagai pembunuhan di luar hukum ini merupakan pembunuhan ilegal yang sering dilakukan oleh negara otoriter terhadap musuh politik, kelompok yang dianggap pembangkang, atau oposisi, termasuk pejuang hak asasi. Pembunuhan semacam ini dianggap sebagai tindakan yang paling tidak etis dan tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pembela hak asasi kerap menjadi target negara dalam pembunuhan kilat karena sikap kritisnya terhadap kebijakan ataupun langkah negara yang tidak selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, dan demokrasi. Pasal 1 Prinsip PBB tentang Pencegahan dan Investigasi yang Efektif dari Eksekusi di Luar Hukum, Sewenang-wenang dan Cepat menyatakan bahwa pemerintah harus melarang secara hukum pembunuhan sewenang-wenang. Pembunuhan di luar hukum melanggar hukum nasional dan juga bertentangan dengan hak atas hidup yang tertera pada Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Namun pembunuhan kilat masih terjadi hingga hari ini, khususnya terhadap pembela hak asasi di Indonesia.

Keengganan negara untuk membuka dokumen TPF menunjukkan bahwa negara memang memelihara impunitas dan menghambat perlindungan bagi pembela hak asasi. Pada 2017, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) bersama koalisi masyarakat sipil telah mengajukan permohonan sidang ke Komisi Informasi Publik, dan putusannya menyatakan bahwa dokumen TPF Munir merupakan dokumen publik yang harus diumumkan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dan transparansi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga telah merekomendasikan dan mendorong pemerintah untuk membuka dokumen tersebut, tapi pemerintah hingga hari ini masih berkilah bahwa dokumen itu telah hilang. Dokumen negara yang seharusnya diungkap ke public tapi justru dianggap hilang ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus penyerangan terhadap pembela hak asasi, dan hal ini menyebabkan upaya advokasi kasus Munir terhambat serta pola penyerangan terhadap pembela hak asasi terus berulang.

Mereka bertindak untuk memajukan hak asasi manusia atas nama suatu kelompok ataupun individu. Catatan panjang penyerangan dan pembunuhan kilat semenjak masa Orde Baru terus bertambah, dari kasus Munir, Marsinah, Salim Kancil, Golfrid Siregar, hingga mahasiswa yang terlibat aksi “Reformasi Dikorupsi” pada 2019. Mereka kerap menjadi korban dari pelanggar hak asasi itu sendiri. Bukan hanya pembunuhan kilat, tapi juga intimidasi, penangkapan, dan penahanan sewenang-sewenang. Di era digital sekarang, terjadi pula penyerangan melalui platform digital. Kontras mencatat, selamat Januari-Juli 2020 terdapat 57 kasus teror terhadap pembela hak asasi di Indonesia.

Hal ini terjadi karena tidak ada regulasi yang melindungi kerja-kerja pembela hak asasi dan stigma terhadap pembela hak asasi sebagai pembangkang dan pengkianat negara. Wacana tentang regulasi yang melindungi pembela hak asasi telah mucul sejak 2010, tapi hingga kini belum juga menjadi prioritas Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal regulasi ini dapat menjadi salah satu realisasi perlindungan terhadap pembela hak asasi dan menunjukkan bahwa negara memberikan perlindungan dan pengakuan tersebut secara struktural sehingga dapat meminimalkan kekerasan terhadap mereka.

Karena itu, kasus Munir sebagai simbol perjuangan pembela hak asasi patut dijadikan pembelajaran bagi kita bersama bahwa hingga hari ini negara masih belum menjadikan pemajuan hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sebagai salah satu prioritas dan landasan dalam kebijakan maupun tindakannya. Hari meninggalnya Munir pada 7 September dapat dijadikan momentum apresiasi sebagai hari pembela hak asasi manusia nasional jika negara memang memiliki keinginan politik untuk mendukung dan mengakui kerja-kerja pembela hak asasi. Perjuangan Munir mungkin berakhir, tapi nilai dan semangat perjuangan hak asasi manusia yang ditularkannya kepada masyarakat masih terus mengakar dan harus menjadi catatan bagi pemerintah bahwa perlindungan terhadap pembela hak asasi harus segera terlaksana.

Sumber: https://koran.tempo.co/read/opini/457616/munir-dan-jejak-kelam-perlindungan-pembela-ham


Related Article

© Omah Munir All Rights Reserved.
Top