Article

Results of the Discussion on Museum Development

Date : 2020-09-07
Author : Herlambang P. Wiratraman
Year : 2020
Category: Museum

MUNIR DAN KEJAHATAN NEGARA 

Herlambang P. Wiratraman *

Jawa Pos, Senin 7 September 2020

Kasus Munir memasuki babak baru. Hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) menjadi narasi politik kenegaraan untuk mengatakan tidak ada kesediaan politik hukum Pemerintah Jokowi-Ma’ruf menuntaskan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia tersebut. 

Sejak Munir meninggal karena racun arsenik di atas pesawat Garuda Indonesia yang ditumpanginya menuju Amsterdam, publik mendesak pengungkapan kasusnya dengan pembentukan tim independen. Persis, 23 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu, mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 Tahun 2004 tentang “Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir”. TPF telah menyelesaikan laporan investigasi mereka. Dokumen hasil investigasi diserahkan secara langsung kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005 langsung di Istana Negara. 

Dua windu berselang hingga hari ini, dokumen TPF tak pernah dibuka ke publik. Pihak istana menyatakan tidak memilikinya. Melalui Surat Kemensetneg No.B-028/Kemensetneg/D-2/Humas/HM.01.00/03/2016, menyatakan bahwa kesekretariatan negara tidak memiliki dan menguasai informasi tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Sudi Silalahi, Rabu 26 Oktober 2016, bahwa Susilo Bambang Yudhoyono melalui mantan Mensesneg, mengaku telah menyerahkan salinan dokumen kepada pemerintahan Jokowi.

Sejumlah organ pendukung ketatanegaraan (state auxiliary bodies) yang berfungsi sebagai ‘watchdog institutions’, seperti Ombudsman dan Komisi Informasi, pun menegaskan adanya dua hal penting. Pertama, hilangnya dokumen negara tersebut sebagai maladministrasi. Kedua, dokumen TPF merupakan dokumen yang bisa diakses publik. 

Mengapa suatu dokumen publik atas kasus yang demikian penting, menjadi perhatian internasional, dan bahkan lahir dari perintah kepresidenan, bisa hilang? Mengapa seakan tak ada upaya untuk menuntaskannya? Bukankah pengungkapan itu kewajiban negara, menyelesaikan kasus kejahatan hak asasi manusia?  

Kasus mudah!  

Sekalipun telah digelar persidangan untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir, aktor utama atau dalang, tak pernah diketahui atau diungkap. Itu sebab, dokumen TPF sesungguhnya menjadi kunci untuk menggerakkan lebih jauh upaya penyelesaian kasus hukum tersebut. 

Sayangnya, kasus-kasus yang diduga melibatkan pejabat tinggi atau petinggi militer, sulit disentuh dan menjadi masalah impunitas, yang mata rantainya kian menguat dalam sistem hukum Indonesia. 

Sesungguhnya, dokumen hasil penyelidikan TPF yang dinyatakan itu hilang mudah dicari. 

Pertama, salinan dokumen TPF itu masih tersimpan di sejumlah anggota tim itu sendiri. Artinya, pemerintah bisa memanggil para anggota tim yang ada dan meminta salinan dokumennya.

Kedua, untuk menguji kebenarannya, Pemerintah dapat menghadirkan dan mengkonfirmasi kepada seluruh anggota tim terkait dokumen salinan tersebut. Bila perlu, Pemerintah mengujinya dengan mengirim orang untuk mengonfirmasi pada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Mensesneg, Sudi Silalahi. 

Ketiga, bukankah Menlu saat ini, Retno L.P. Marsudi merupakan bagian dari pemerintahan Jokowi? Atau sejumlah nama lain yang sebenarnya bagian dari pemerintahan Jokowi sendiri. Artinya, ia bisa memanfaatkan otoritasnya melakukan pengecekan kebenaran salinan dokumen TPF.  Begitu juga, sejumlah nama, seperti Usman Hamid (Amnesty Internasional Indonesia), Hendardi yang kini penasehat Kapolri, atau aktivis perempuan Kamala Chandrakirana, bisa dipanggil kembali untuk konfirmasi dokumen. Artinya, sejumlah anggota TPF Munir yang telah menyerahkan secara resmi di istana bisa segera dipanggil kembali. 

Soal menemukan dokumen TPF itu jelas mudah. Kuncinya adalah pemerintah hari ini memiliki komitmen politik untuk menjalankan kewajiban HAM, sekaligus integritas dalam penyelenggaraan kekuasaan.  

Kejahatan Impunitas

Sebagaimana disebutkan dalam Penetapan Kesembilan, dari Keppres No. 111 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, menyatakan bahwa “Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada masyarakat”. Dari sudut hukum tata negara, pemerintah di sini merujuk pada seorang Presiden, yang mana ia diserahi mandat oleh konstitusi, khususnya pasal 4 UUDNRI 1945 (“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar").

Wewenang yang demikian besar, dengan kedudukan yang tinggi di suatu negara, maka menjelaskan apakah sebenarnya negara memiliki kapasitas membongkar suatu kejahatan ataukah tidak. Ataukah, pemerintah itu sendiri terlibat dalam kejahatan, sehingga tak pernah serius atau membiarkan impunitas itu terjadi dan menguat. Soal kemampuan, ataukah kemauan? 

Dalam buku ‘State crime: governments, violence and corruption’, Green dan Ward (2004) mengklasifikasikan kejahatan negara sebagai bentuk penyimpangan kelembagaan (organizational deviance) yang melibatkan kasus pelanggaran hak asasi manusia dan justru dilakukan atau difasilitasi oleh penguasa dalam rangka memenuhi tujuan kelembagaan negara itu sendiri. 

Pembiaran atas tidak adanya pengungkapan kebenaran kasus pembunuhan Munir, jelas bentuk kualifikasi pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Norma terkait tiadanya “penyelesaian hukum yang adil dan benar” merupakan bentuk pelanggaran HAM. Persoalannya, bagaimana bila pelaku kini bukan sekadar mereka yang merencanakan pembunuhan Munir, melainkan mereka yang menutupi dan bahkan menghalangi pengungkapan kasus pembunuhan itu? Bila penyimbangan kelembagaan itu bukan hanya satu institusi, melainkan melibatkan banyak kelembagaan negara, banyak aktor, dan dilakukan dengan terang-terangan memanfaatkan mekanisme hukum negara? Bukankah dibalik rapinya jaringan yang menutupi kasus pembunuhan Munir ini merupakan kejahatan yang disponsori negara (state sponsored impunity)? 

Racun arsenik yang membuat Munir meninggal di pesawat merupakan kejahatan pembunuhan yang terorganisir. Sedangkan bekerjanya organ ketatanegaraan yang menghentikan, menutupi dan bahkan menghalangi pengungkapan kasusnya, pula secara terorganisir, merupakan bentuk kejahatan berikutnya, yakni kejahatan impunitas. Semoga Pemerintahan Jokowi mendayagunakan kekuasaannya untuk mengungkap kasus Munir. Pengungkapan itu bukan semata keadilan bagi korban atau keluarga korban, melainkan keadilan publik untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Semoga demikian!

*) Dosen Hukum Tata Negara dan HAM, dan Peneliti Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga


Related Article

© Omah Munir All Rights Reserved.
Top